Selasa, 07 September 2010

Bicara pada Bintang

*Langit malam ini sedikit berawan. Namun aku senang karena bintang Timurku masih ada, terang bersinar disana.

Hai bintangku,
Kamu sendirian di langit sana.

*Terimakasih Rabb, bintangku masih Kau beri cahaya terang untuk menemaniku disini.

Bintang,
Kau masih selalu setia tetap terang untukku. Tidakkah kau lelah?

*aku mau deh kaya kamu

Saat langit gelap gulita, saat langit tersaput awan, saat bintang yang lain terkalahkan, kau hebat! (hihihi) kau masih berusaha mengintipku, sepertinya memastikan aku baik-baik saja yaa (geer)

Bintangku,
Kau selalu bersinar di langit timur sana. Aku selalu pastikan itu setiap malam. Allah menciptakanmu untuk bersinar disana. Biarpun tersaput awan, biarpun terkalahkan kabut hitam, allah mengizinkanmu untuk tetap dapat kulihat. Agar aku merasakan kehadiranNya melalui keMahaBesaran lukisan langitNya.

*malam ini ditambah dengan belaian lembutNya melalui angin malam, dan sedikit usapan halusNya yang disampaikan gerimis.

Bintangku,
hh.. (mulai bercerita)
begini ya rasanya terkungkung dalam belenggu masa lalu. Rasanya sakit. Sungguh ingin lepas. Kalau bisa benar-benar ingin lari, tak mau hiraukan lagi si masa lalu itu. Dulu yang namanya kenangan ataupun masa lalu selalu aku pelihara rapih. Aku kunci rapat. Namun ternyata entah sadar atau tidak, sedikit demi sedikit aku mencoba membukanya sampai akhirnya dia merasa cukup punya nyali untuk menghantuiku.
Kupikir, aah.. biarlah...masa lalu kan bisa jadi cermin buat kita. Taunya, bukan cermin untuk memperbaiki diri, sekali lagi antara sadar ataupun tidak, dia perlahan membujukku untuk berteman kembali. Sungguh, aku tak ingin.

Bintangku,
Aku telah mengenalnya cukup lama. Amat lama malah. Di saat teman-temanku hanya tahu sebagaimana umumnya, aku lebih banyak tahu dibandingkan mereka. Nuansanya sudah sehari-hari aku rasakan. Namun, aku yang terlalu bebal, terlalu sombong dengan tak menghiraukan kedatangnnya. Aku tepis hanya karena gengsi. Aku abaikan dengan pembenaran-pembenaran akal. Sekarang Allah mempertemukanku dengannya, sekali lagi (*Allah Baik Banget yaa, :’( ) dengan cara yang paling amat kusukai. Dia datang langsung ke dalam hatiku, sebuah tempat yang amat sangat sensitif. Allah, sungguh aku tak ingin lepaskannya. Sungguh, aku ingin terus bersamanya. Jika bisa, aku ingin hidup bersamanya, selamanya.

Bintangku,
Kau tahu rasanya? Tentram.. damai sekali. Memang baru sebagian kecil yang aku rasakan. Tapi jika kau dapat sentuh ia, kau akan menangis haru, menangis bahagia, menangis ketakutan, takut dia pergi karena kepongahan kita.
Namun, ketika genggamannya tak ingin kulepaskan, ketika kehadirannya kucoba pertahankan, bayang-bayang masa lalu itu terus datang. Ketika ku tahu sesuatu itu salah, kembali aku teringat dahulu. Dahulu pun aku begitu. Melakukan yang salah itu. Rasanya tak sanggup untuk sedikit mengingatkan. Ketika sedang berjalan tenang, tiba-tiba saja ada yang membisikkan sebuah kalimat yang mengingatkanku pada segumpal dosa dahulu kala.

Sungguh, aku pun ingin seperti mereka, yang telah menggenggamnya erat. Ingin seperti mereka yang begitu kuat mempertahankannya. Seperti mereka yang bisa kuat, tegak berdiri dengan ia disisinya. Aku ingin seperti mereka. Bukan.. bukan dengan topeng yang kebanyakan orang bilang ‘munafik’. Tidak. Bukan dengan itu. Sungguh, aku menginginkannya. Aku tak ingin ia pergi lagi dari hatiku. Sungguh, Allah sudah begitu baik, memberikannya dengan cara yanga amat kusukai. Aku inginkannya, bintangku.

*rabb, ijinkan ia tetap bersamaku sampai kau memintanya kembali dengan caraMu yang amat aku sukai

Bintangku,
Aku ingin sepertimu, sejak lama. Menjadi bintang, memberi cahaya bagi sekelilingku. Sekali lagi, awalnya aku begitu sombong, merasa telah bisa sepertimu. Nyatanya semua itu hanya mengantarkan pada yang semu, sesaat.

Bintangku,
Aku ingin sepertimu yang dapat menerangi orang banyak. Dengan cara baru, cara yang amat Rabbku sukai. Namun untuk itu, aku harus ditempa dulu, seperti kau dulu ditempa. Aku harus belajar banyak, termasuk belajar tak menengok masa laluku lagi. Belajar kuat, tegak berdiri sekalipun banyak yang mengusik, menyangsikan aku. belajar menggenggamnya kuat. Belajar mempertahankannya agar tak lagi pergi. Belajar untuk menerangi diriku sendiri sampai nanti aku dapatkan cahaya seterang kau.

*aku merasakan kehadirannya sekali lagi. Aah, masih ada di hatiku rupanya. Allah menyapaku malam ini. Ia menemani kesendirianku dengan terangnya gemintang. Ia belai aku dengan lembutnya angin malam. Ia hibur aku dengan orkestra alam –gesekan dedaunan, merdunya jangkrik, dan desah angin-. Terimakasih Allah 

Catatan seseorang dengan sedikit perubahan.
Ditulis kembali di bandung, 25 Agustus 2010
22.33 wib

kerbau, kelelawar, dan cacing


Ada sedikit cerita yang sarat makna. Diceritakan oleh Babeh “Keluarga Dua Hari” (ehem,,, nampang!) kepada cucu-cucu dan anak-anaknya serta teman-teman Densus 88 di sebuah tempat makan bernama Bo**a sambil menunggu adzan maghrib berkumandang.
Bismillah.....
Alkisah, disuatu hutan terdapat seekor kerbau, seekor kelelawar, dan seekor cacing. Pada suatu hari datang seorang malaikat dan mengajukan pertanyaan pada sang kerbau.
“wahai kerbau, apakah engkau bahagia menjadi seekor kerbau?” tanya malaikat.
Sang kerbau menjawab,” Aku bahagia menjadi kerbau, malaikat. Aku bersyukur diciptakan menjadi seekor kerbau, bukan menjadi seekor kelelawar yang mandi pake air kencingnya sendiri,”
Lalu malaikat pergi mendatangi kelelawar, dan bertanya,” wahai kelelawar, apakah engkau bahagia menjadi kelelawar?”
Sambil bergelantungan kelelawar menjawab,” aku bahagia malaikat. Aku masih bersyukur tercipta menjadi kelelawar, dibandingkan seekor cacing yang hidup di tanah, kadang terinjak-injak dan berjalan menggunakan tubuhnya,”
Mendengar jawaban kelelawar, malaikat pergi menemui cacing dan mengajukan pertanyaan yang sama. “apakah engkau bahagia menjadi cacing?”
“ya, aku bahagia menjadi seekor cacing, malaikat. Biarpun aku hidup di tanah dan kadang terinjak-injka, biarpun aku harus menggunakan tubuhku untuk berjalan, aku masih bersyukur dibandingkan manusia,” jawabnya. Malaikat bertanya,”kenapa?”
Cacing kemudian menjawab,” karena jika aku mati aku hanya akan terkubur bersama tanah, tidak akan mengalami siksa kubur. Sedangkan manusia jika meninggal nanti, dia akan mengalami siksa kubur dan jika amalannya lebih kecil dibandingkan dosanya (tidak dekat dengan Tuhannya) maka dia akan masuk neraka. Sedangkan aku tidak”

*nah, pesan Babeh adalah: kita sebagai manusia nggak boleh kalah sama hewan yang selalu bersyukur di setiap hela napasnya, bagaimanapun dia diciptakan, karena Allah tidak mungkin keliru dengan penciptaannya. Dan ingatlah bahwa kita sebagai manusia memiliki keistimewaan yaitu akan ada penghisaban setiap amal di akhirat kelak. Jadi, patuhi dan dekatlah dengan Allah, laksanaknlah setiap perintahNya dan jauhilah semua laranganNya. ^^v

Semoga bermanfaat.....
Nb: dengan sedikit perubahan di beberapa kata-kata serta kalimatnya dikarenakan terlalu banyak kosakata berseliweran di benak penullis, hehehe

Ditulis tgl 3 september 2010 pukul 21.50 wib